"MAK"

image hosted by imageshack.us

Kamis, 04 September 2008

dampak hukum bagi orang yang meninggalkan shalat!

Artikel Fatwa :

Dampak Hukum Bagi yang Meninggalkan Shalat
Jumat, 02 April 04

Tanya :

Kami telah mengetahui bahwa meninggal-kan shalat adalah kafir, kami sekarang ingin mengetahui apa dampak hukum yang berlaku bagi yang meninggalkan shalat?

Jawab :

Dampak hukum yang berlaku bagi orang yang meninggalkan shalat dan menyebabkan kufur adalah seperti dampak hukum yang berlaku bagi orang murtad, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi.

Di antara hukum yang berkaitan dengan duniawi adalah sebagai berikut:
1.Tidak diperbolehkan menikah dengannya. Karena orang kafir tidak halal menikah dengan wanita muslimah, berdasarkan firman Allah Subhannahu wa Ta'ala :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka.” (Al-Mumtahanah: 10).
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.” (Al-Baqarah: 221).
Barangsiapa menikahkan anak gadisnya yang muslimah dengan seorang laki-laki yang tidak shalat, maka pernikahannya tidak sah, wanita muslimah tersebut tidak halal bagi laki-laki kafir, dan laki-laki kafir tersebut tidak diperbolehkan menggauli wanita muslimah tadi, sebab ia haram baginya. Seandainya Allah memberi hidayah kepada lelaki tersebut dan memberikan karunia kepadanya dengan menerima tobat-nya, ia harus mengulangi aqad pernikahannya.

2.Jatuh kekuasaan perwaliannya. Laki-laki kafir tidak diperbo-lehkan menjadi wali bagi anak-anak wanitanya atau kerabat-kerabatnya, ia tidak boleh menikahkan salah seorang di antara mereka. Karena ia tidak memiliki kekuasaan perwalian atas seorang muslim.

3.Tidak memiliki hak mengasuh anak. Ia tidak memiliki hak mengasuh anak-anaknya, karena orang kafir tidak memiliki hak mengasuh anak muslim. Dan sekali-kali Allah tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir atas orang-orang mukmin.

4. Haram memakan hewan sembelihannya. Binatang yang disembelihnya haram dimakan, karena di antara syarat halal hewan sembelihan, hendaknya yang menyembelih seorang muslim, atau ahli kitab yaitu orang Yahudi atau Nasrani, orang murtad tidak termasuk golongan mereka ini, maka binatang sembelihannya menjadi haram.

5. Tidak diperbolehkan memasuki Makkah dan tanah haram lainnya. Berdasarkan firman Allah Subhannahu wa Ta'ala :
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” (At-Taubah: 28).
Tidak diperbolehkan seorang pun memberi izin bagi orang yang tidak shalat untuk memasuki Makkah dan tanah haram berdasarkan ketentuan ayat tersebut.

Adapun hukum yang berkaitan dengan ukhrawi di antaranya:

1. Jika mati tidak boleh dimandikan, tidak dikafani, tidak dishalatkan atau dikuburkan di lingkungan orang Islam, karena ia bukan seorang muslim. Hendaknya ia dikuburkan di tempat tersendiri agar keburukannya tidak menodai orang lain, atau mengganggu anggota keluarga yang berziarah ke kuburan. Tidak boleh bagi seseorang atau kerabatnya untuk mendoakan mayit yang sudah diketahui tidak shalat agar diberi limpahan rahmat, berdasarkan firman Allah Subhannahu wa Ta'ala :

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni Neraka Jahannam.” (At-Taubah: 113).
Tidak boleh seorang pun mengatakan: “Sesungguhnya Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: ‘Tidak sepatutnya memohonkan ampunan bagi orang-orang musyrik’, sedangkan orang yang meninggalkan shalat bukan termasuk orang musyrik”. Bagi kita, pengertian secara zhahir dari hadits Jabir:

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ.

“Pembatas/pemisah antara seorang muslim dengan syirik dan kafir adalah meninggalkan shalat.” Bahwa meninggalkan shalat termasuk jenis kemusyrikan, di samping itu Allah Subhannahu wa Ta'ala menta’lil dengan firman-Nya, artinya: “Sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni Neraka Jahim.”
Hukum orang yang meninggalkan shalat telah jelas disebutkan dalam berbagai dalil, baik Al-Qur’an, hadits Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, dan pendapat para shahabat Radhiallaahu anhum, serta pengertian yang shahih. Dan telah jelas bagi kita bahwasanya orang yang meninggalkan shalat termasuk penghuni Neraka Jahim. Sedang alasannya sama itu-itu juga. Dan suatu hukum jika telah ditetapkan ‘illah (alasan)nya, maka illah tersebut berlaku bagi segala yang berdampak dengannya.

2. Pada hari Kiamat kelak akan dikumpulkan bersama-sama Fir’aun, Haman, Qarun dan Ubai bin Khalaf (pemimpin orang-orang kafir). Tempat kembali orang-orang yang bersama mereka ini adalah Neraka -na’udzu billah-.
Waspadalah, jangan sekali-kali meninggalkan shalat, takutlah kepada Allah, tunaikanlah amanah yang telah dibebankan Allah, karena pada tiap diri seseorang itu memiliki kewajiban kepada Allah.

3. Kemungkinan ada yang berkata, “Pendapat saudara yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir yang dapat mengeluarkannya dari ajaran Islam bertentangan dengan pendapat sebagian ahli ilmu yang mengatakan: Ia kafir namun tidak keluar dari agama Islam, dan hadits-hadits di atas hanya berlaku bagi orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari hukum wajibnya, sehingga tidak berlaku bagi yang meninggalkan shalat karena menganggapnya remeh.” Pendapat itu kami bantah dengan mengatakan: Memang masalah tersebut termasuk masalah khilafiyah, akan tetapi bukankah Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman,
“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (Asy-Syura: 10).

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kemba-likanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’: 59).
Jika masalah ini kita kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka kita mengetahui bahwa hukum tersebut berlaku bagi orang yang meninggalkan shalat, bukan kepada orang yang ingkar, sebagaimana telah diuraikan di atas.

Selanjutnya kami akan bertanya; Adakah seseorang yang mengaku dirinya lebih mengetahui hukum-hukum Allah Subhannahu wa Ta'ala dari Nabi Shalallaahu alaihi wasalam ? Adakah seseorang yang lebih berhak memberi wejangan kepada makhluk daripada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam? Adakah seseorang yang mengaku lebih fasih dalam berkata dari Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam? Adakah seseorang yang lebih menge-tahui hal-hal yang dikehendaki Allah daripada Nabi Shalallaahu alaihi wasalam ? Tidak mungkin ada seorang pun yang mengaku dirinya lebih mengetahui terhadap empat perkara di atas. Hanya Nabi Muhammad SAW manusia yang paling mengetahui hukum-hukum Allah, yang lebih berhak memberi wejangan kepada hamba-hamba-Nya, yang lebih fasih terhadap yang diucapkan dan yang paling mengetahui makna hadits:

الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ.

“Perjanjian di antara kita dan meraka adalah shalat, barangsiapa meninggalkan shalat berarti ia telah kafir.”( Diriwayatkan At-Tirmidzi (no. 2623) kitab Al-Iman, An-Nasa’i (no. 463) kitab Ash-Shalah, Ahmad dalam Al-Musnad 5/546, Hakim dalam Al-Mustadrak 1/7, dia berkata, “Sanadnya shahih” dan disetujui oleh Adz-Dzahabi, At-Tirmidzi berkata, “Hasan shahih gharib.”)

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ.

“Pemisah antara seseorang dan antara kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” HR. Muslim (no. 134) kitab Al-Iman )

Maka keterangan mana lagi yang lebih jelas dari nash-nash di atas, yang menunjukkan bahwa hukum tersebut hanya berlaku bagi orang yang meninggalkan shalat saja. Selanjutnya kami sampaikan kepada orang yang mengartikan meninggalkan shalat sebagai meng-ingkari hukum wajibnya: sesungguhnya engkau telah menyimpangkan nash dalil di atas dari dua sudut:

1. Engkau sengaja menyimpangkan sifat yang dikehendaki hukum tersebut, yakni meninggalkan.

2. Engkau membuat sifat sendiri yang berhubungan dengan hukum yang tidak dimaksud oleh lafazh yang ada yakni ingkar, di sebelah manakah terdapat kata ingkar di dalam sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam yang berbunyi: Barangsiapa meninggalkannya berarti ia kafir.

Kami katakan juga: Jika seseorang mengingkari kewajiban shalat, maka orang tersebut kafir sekalipun ia mengerjakan shalat. Apakah kamu tetap akan berkata: Jika dia mengingkari hukum wajibnya namun dia mengerjakan shalat, maka ia tidak termasuk kafir? Tentu akan dibantah: Tidak, jika ia mengingkari kewajibannya, maka ia disebut kafir sekalipun ia shalat. Kami katakan juga: Kalau demikian berarti kamu menyim-pangkan maksud hadits. Hadits yang ada berbunyi: Barangsiapa meninggalkannya, sedangkan engkau mengatakan bahwa maksud hadits adalah: Barangsiapa meninggalkan shalat karena mengingkari hukum wajibnya, dan kekufuran itu sebagai akibat dari dugaanmu terhadap orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari hukum wajibnya, tidak berlaku bagi yang mengingkari hukum wajibnya tanpa dengan meninggalkan shalat. Dan kamu tidak mengatakan seperti itu, maka sesuai pendapatmu bahwa orang yang mengingkari hukum wajibnya namun mengerjakan shalat bisa disebut sebagai seorang muslim? Cobalah engkau cari kejelasannya lagi. Pendapat yang benar adalah: Barangsiapa meninggalkan shalat karena menganggap remeh atau malas mengerjakannya maka ia termasuk kategori kafir, adapun orang yang mengingkari hukum wajibnya, sekalipun dia tetap mengerjakan shalat atau tidak maka dikatakan kafir juga.

Klaim jenis lainnya –yang mengatakan bahwa maksud “barang-siapa meninggalkan shalat” adalah mengingkari hukum wajibnya– yaitu klaim yang dinukil dari Imam Ahmad mengenai firman Allah Ta'ala:
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannnya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan adzab yang besar baginya.” (An-Nisa’: 93).

Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa sebagian manusia menga-takan: Maksudnya adalah barangsiapa membunuh seorang mukmin sambil menganggap halal membunuhnya. Maka Imam Ahmad heran dan seketika itu menjawab: Orang yang menganggap halal membunuh seorang mukmin maka ia telah kafir sekalipun ia kemudian berhasil membunuhnya atau tidak, padahal ayat di atas menunjukkan hubungan hukum dengan pembunuhan. Inilah perbandingan permasalahan kami dalam hal hukum orang yang meninggalkan shalat. Pendapat kami dengan mengatakan kafir terhadap orang yang meninggalkan shalat adalah semata-mata sebagai cara kami untuk membebaskan diri kami di hadapan Allah Subhannahu wa Ta'ala dari mengucapkan sesuatu yang tidak sesuai dengan maksud firman-Nya, atau sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam utusan-Nya. Sesungguh-nya keputusan dalam menetapkan seseorang sebagai orang kafir, adalah sebagaimana menetapkan hukum wajib atau haram, yang hanya menjadi wewenang Pembuat Syari’at. Lancang mengkafirkan seseorang sama dengan lancang mewajibkan sesuatu yang tidak wajib, atau mengharamkan sesuatu padahal tidak haram, sebab tempat kembali segala sesuatu hanyalah kepada Allah. Menghalalkan, mengharamkan, membebaskan hukum, mengkafirkan seseorang atau tidak mengkafirkannya, hanyalah menjadi hak mutlak Allah. Kewajiban seorang hamba adalah sebatas mengatakan sesuatu sesuai dengan yang dikehendaki firman Allah Subhannahu wa Ta'ala dan sabda Rasul-Nya tanpa memperdulikan penafsiran lain yang berbeda dengannya.

Tidak ada komentar:

koran digital....

Image Hosted by ImageShack.us